Cari di Bungur Center blog

Link yang disarankan

Selasa, 28 Oktober 2014

Sekilas tentang Front Pembela Islam (FPI)


Kalau semua petani menanam padi, tak ada yang memberantas hama, bersiaplah menerima panen gagal. Kalau semua petani memberantas hama, tak ada yang menanam padi, bersiaplah tidak makan. Kedua pekerjaan itu harus dilakukan harmonis.
Penolakankehadiran FPI (Front Pembela Islam) di Palangkaraya oleh masyarakat Dayak memicu penolakan serupa di Jakarta. Lebih 100 orang yang tergabung dalam Gerakan Anti Kekerasan Tanpa FPI malah meminta pemerintah segera membubarkannya.

Rentetan penolakan dan permintaan pembubaran Ormas pimpinan Habib Riezeq tersebut sering terjadi belakangan ini. Bahkan, Mendagri Gamawan Fauzi pun mulai memberi warning kepada FPI agar bersiap bubar kalau dikategorikan sebagai Ormas anarkis (Republika, 12 Februari 2012). Mengapa FPI harus dibubarkan ?

Pro dan kontra
Kesan masyarakat terhadap keberadaan FPI yang identik dengan kekerasan tidak salah sepenuhnya. Seringkali tindakan anggota FPI mengundang kontroversi. Didukung anggota fanatik, bukan rahasia lagi nuansa kekerasan selalu mengiringi aksi jalanan mereka. Apalagi ketika aksi terjadi tak jarang diiringi penyerbuan bersenjata, perusakan tempat-tempat hiburan malam, sampai pada perusakan kaca gedung pemerintah.

Meski demikian tidak semua komponen masyarakat kontra keberadaan mereka. Banyak juga yang sepakat, terutama masyarakat yang tak percaya lagi dengan keberadaan kepolisian menghadapi berbagai praktik kemaksiatan yang mewabah di tengah kehidupan masyarakat. Ambillah contoh panti pijat, diskotik, bar, dan tempat hiburan malam yang tanpa berdosa beroperasi di pemukiman penduduk. Kalau tidak ada FPI, mana mungkin tempat yang sering dijadikan ajang transaksi kemaksiatan itu dapat ditutup.

FPI malah  menjadi ‘kebutuhan’ bagi sebagian masyarakat. Tanyakan hal ini kepada masyarakat jalan Ketapang, Jakarta Pusat. Penduduk Jalan Ketapang yang mayoritas Betawi ini, sering jengkel atas arogansi preman yang menjadi centeng berbagai tempat hiburan (maksiat) di sekitarnya. Pascaperang “terbuka” antara puluhan laskar FPI dengan sekitar hampir tiga ratus preman centeng itu, yang terjadi di penghujung tahun 1998, kini warga di Jalan Ketapang merasa lebih tenang dan bermartabat.

FPI menjadi terkenal dengan aksi-aksi kontroversi, seperti menutup sejumlah diskotik, merazia tempat pelacuran/perjudian dan tempat maksiat lainnya serta melakukan sweeping di tempat hiburan malam. Tak jarang tindakan FPI ini juga mengundang konfik dengan masyarakat, tokoh dan Ormas lainnya bahkan dengan basis agama yang berbeda.

Dengan kegarangan itu, banyak pihak merasa terganggu. Tak terkecuali kelompok liberal, yang dimotori oleh tokoh-tokoh agama, nasionalis maupun kader partai politik. Mereka menuntut pembubaran FPI karena merasa telah menjadi hakim swasta yang tidak saja bertugas mengadili kejahatan, tapi juga keimanan seseorang.

Bukan didominasi FPI
Salah seorang deklarator FPI Habib Rizieq pernah mengatakan, “Kalau semua petani menanam padi dan tak ada yang memberantas hama, maka bersiaplah menerima panen yang gagal. Kalau semua petani memberantas hama dan tak ada yang menanam padi maka bersiaplah tidak makan. Kedua pekerjaan itu harus dilakukan secara harmonis. Demikian juga amar ma’ruf dan nahi munkar, keduanya harus ada yang melakukan. Karena itu harus ada rakyat yang bekerja untuk membangun negeri dan harus ada polisi yang menjaga keamanan rakyat. Dan sebagai negara dengan mayoritas Islam maka di Indonesia harus ada pula umat Islam yang menjaga keamanan agama Islam. Untuk itulah FPI didirikan. Semoga ini menjadi pembagian tugas harmonis yang saling menguatkan.”

Pernyataan Rizieq bukan tanpa alasan. Baik aparat penegak hukum maupun umat Islam tak mampu berbuat semestinya ketika kemaksiatan merajalela. Begitu juga dengan kasus-kasus pelecehan Islam yang seringkali dianggap sebagai ungkapan kebebasan berekspresi, tak membuat pemerintah tanggap menghukum pelakunya, dibiarkan bebas seolah-olah negeri ini membuka ruang pelecehan bagi kesucian agama Islam.

Ketika bentrok antara massa FPI dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan  Beragama dan Berkeyakinan) yang sampai menyeret Munarman ke penjara, atau kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Ciketing, tidak selalu merepresentasikan bahwa FPI sungguh-sungguh melakukan tindak kekerasan yang mengarah kepada tindak kriminal. Mereka mempunyai keyakinan bahwa mereka harus turun ke jalan karena merasa nilai-nilai Islam sering dilecehkan, sementara tak satu pun elemen umat Islam yang berani turun ke jalan, lalu mereka tampil ke depan sebagai pembela Islam.

Bukan saja kurang, bahkan tidak adil kalau legalitas pembubaran FPI atas dasar tuduhan tindak kekerasan yang mereka lakukan. Justru mereka tampil ke depan karena ketidakmampuan aparat keamanan melakukan tugasnya membebaskan negeri ini dari berbagi tindak kriminil yang merajalela di tengah warga. Timbangan perlu digunakan sebagai neraca keberadaan mereka: lebih besar manfaat atau mudharat. Kalau anarkhisme yang dijadikan alasan pembubaran FPI sesungguhnya masalahnya tidak sesederhana itu.

Pertama, kebanyakan masyarakat sekitar biasanya mendukung aksi FPI. Keberadaan diskotik, bar, dan panti pijat yang berdekatan dengan pemukiman banyak menimbulkan pengaruh negatif bagi warga, terutama generasi mudanya. Mengharapkan pihak keamanan dan pemerintah menutup berbagai tempat kemaksiatan tersebut jelas mustahil karena tempat hiburan tersebut secara rutin mengirimkan upeti kepada aparat setempat.

Kedua, harus dibedakan kekerasan yang terjadi karena rebutan lahan parkir, persaingan antara organisasi pemuda (OKP) yang murni tindak kriminil disejajarkan dengan kekerasan yang timbul  akibat sweeping diskotik, lokalisasi perjudian dan pelacuran, dan tempat-tempat maksiat lain. Kalau tindakan seperti ini dianggap sebagai “kekerasan” berbau kriminal, sungguh sangat keterlaluan dan bertentangan dengan akal sehat. Semestinya yang dikategorikan kriminal adalah mabuk, judi, dan prostitusi. Kalau ada pihak yang ingin mencegah tindak kriminal dan penyakit masyarakat, seharusnya didukung, bukan malah dikriminalisasi.

Ketiga, citra buruk FPI lebih banyak diciptakan oleh media daripada kenyataannya di lapangan media massa juga jangan menjadi sumber provokasi. Selain harus bersikap profesional dan memenuhi etika jurnalistik, media massa juga jangan sok tahu dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Kasus pemuatan foto Munarman mencekik anggotanya sendiri, yang oleh salah satu media nasional ditulis mencekik anggota AKKBB, menunjukkan bahwa media itu menaruh antipati atas keberadaan FPI, dan pro atas keberadaan AKKBB.

Pemerintah harus menyadari, sesungguhnya kelahiran FPI disebabkan ketidaktegasan  pemerintah dan aparat keamanan memberikan jaminan kehidupan yang aman, tertib, dan tenteram bagi masyarakat. Kemunculan FPI lantaran rakyat sudah muak dengan pembiaran kemaksiatan dan perilaku yang melanggar norma agama. Hakim yang mudah disuap, jaksa yang korup, polisi yang gampang disogok, sehingga kemaksiatan dan premanisme merajalela di negeri ini.

Maka, FPI pun muncul sebagai wadah aspirasi masyarakat yang resah dengan kemungkaran serta membantu aparat penegak hukum menjalankan tugas-tugasnya di tengah warga. Sebaiknya yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah menyelesaikan akar masalah yang menjadi penyebab FPI tetap menggunakan tangannya mencampuri berbagai  tugas aparat keamanan, bukan malah membubarkannya. Partai yang petingginya korupsi pun tidak lantas dibubarkan partainya. Padahal, kejahatan korupsi lebih parah dibandingkan kekerasan fisik. Dalam UU, korupsi terkategori sebagai extra-ordinary crime yang tentu saja lebih berbahaya daripada bentrokan fisik. 

Wallâhu A’lam